Minggu, Juni 28, 2009

KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN WALI AMINAH

KONSEP TUJUAN PENDIDIKAN
PONDOK PESANTREN WALI AMINAH

Hakekat pendidikan pondok pesantren wali aminah adalah suatu usaha yang sistematis bagi penciptaan iklim dan kondisi yang memberikan kemungkinan bagi diri santri dalam membentuk dirinya sendiri, dalam mencapai tingkat kualitas pendidikan pada taraf nasional hingga internasional. Sejalan dengan peranan dan tujuan yayasan pondok pesantren wali aminah yaitu untuk mendidik dan membentuk manusia muslim yang bertaqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas, terampil serta berguna bagi agama, bangsa dan negara. Dan tujuan pendidikan nasional dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.

TUJUAN UMUM
Membentuk akademisi muslim yang berakhlaqul karimah, cakap, percaya diri, berguna bagi bangsa dan agamanya serta cerdas dan tangguh.

TUJUAN KHUSUS
  1. Terbinanya kepribadian akademisi muslim yang cakap dan sadar menjalankan tugas pengabdian.
  2. Terbinanya suasana kehidupan santri yang harmonis dan kondusif bagi pengembangan nilai pendidikan islam sampai pada taraf pengabdian pada negara, agama dan masyarakat.
  3. Terbinanya generasi islam yang sanggup melanjutkan amal usaha islam sebagai kader umat dan kader bangsa.
Pondok pesantren sebagai “lembaga kultural” yang menggunakan simbol-simbol budaya jawa; sebagai “agen pembaharuan” yang memeperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan (rural development); sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of community learning); dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada silabi, yang dibawakan oleh Imam Al- Suyuti lebih dari 500 tahun-nan yang lalu, dalam Itman al-dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional selama ini, dengan pengembangan “kajian Islam” dari berbagai macam disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa arab klasik hingga tafsir al-Qur’an dan teks hadist nabi, semuanya dipelajari dalam lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui pondok pesantren juga nilai ke-Islam-an ditularkan dari generasi ke generasi.

Sudah tentu, cara penularan seperti itu merupakan titik sambung pengetahuan tentang Islam secara rinci, dari generasi ke generasi. Di satu sisi, ajaran-ajaran formal Islam dipertahankan sebagai sebuah “keharusan” yang diterima kaum muslimin diberbagai penjuru dunia. Tetapi, disini juga terdapat “benih-benih perubahan”, yang membedakan antara kaum muslimin di sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya dari kawasan yang lain pula. Begitu pula dengan pondok pesantren wali aminah untuk mencapai tujuan maka dilakukan suatu usaha yang diantara lain :

  1. mendirikan dan memelihara tempat-tempat pendidikan formal dan nonformal.
  2. menyebarluaskan ajaran islam ahlusunnah wal-jamaah dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi anil munkar, serta meningkatkan ukhuwah islamiyah.
  3. mendirikan lembaga penelitian dan pengembangan agama islam serta ilmu pengetahuan.
  4. menerbitkan buku-buku tingkat madrasah/sekolah dan umum.
  5. mengadakan hubungan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang bergerak dalam bidang kegiatan pondok pesantren atas dasar saling bantu membantu.
  6. usaha-usaha lain yang sah yang tidak bertentangan dengan agama islam maupun undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah.

Pembahasan pada akhirnya lebih banyak ditekankan pada dua hal yang saling terkait dalam pendidikan Islam. Kedua hal itu adalah, pembaharuan Pendidikan Islam dan modernisasi pendidikan Islam, dalam bahasa Arab taj’did al-tarbiyah al-Islamiah dan al-hadasah, dalam liputan istilah pertama, tentu saja ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus di didik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang diubah adalah cara penyampaiannya kepada peserta didik, sehingga mereka akan mampu memahami dan mempertahankan “kebenaran”. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri, dapat dilihat pada kesungguhan anak-anak muda muslimin terpelajar, untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai “ajaran-ajaran yang benar” tentang Islam, contoh paling mudahnya adalah menggunakan tutup kepala di sekolah non-agama, yang di negeri ini dikenal dengan nama jilbab. Ke-Islaman lahiriyah seperti itu, juga terbukti dari semakin tingginya jumlah mereka dari tahun ke-tahun yang melakukan ibadah umroh/ Haji kecil.
Tentu saja, kenyataan seperti itu tidak dapat diabaikan di dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di negeri manapun. Dengan kata lain, pendidikan Islam tidak hanya di sampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang berserak diseluruh penjuru dunia. Demikian juga, “semangat menjalankan ajaran Islam”, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam. Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam terhadap “tantangan modernisasi”, seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.
Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup “meluruskan” responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Hal inilah yg merisaukan hati para pengamat seperti penulis, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut: Bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai bagian natural dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan baik.
Jelas dari uraian diatas, pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun “pendidikan non-formal” seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Tak terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa ini. Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja menjadi berat tugas para perencana pendidikan Islam, kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam.
Karenanya, peta “keberagaman” pendidikan Islam seperti dimaksudkan di atas, haruslah bersifat lengkap dan tidak mengabaikan kenyataan yang ada. Lagi-lagi kita berhadapan dengan kenyataan sejarah, yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri. Perkembangan keadaan, yang tidak memperhitungkan hal ini, mungkin hanya bersifat menina-bobokan kita belaka, dari tugas sebenarnya yang harus kita pikul dan laksanakan. Sikap untuk mengabaikan keberagaman ini, adalah sama dengan sikap burung onta yang menyembunyikan kepalanya di bawah timbunan pasir tanpa menyadari badanya masih tampak. Jika kita masih bersikap seperti itu, akibatnya akan menjadi sangat besar bagi perkembangan Islam di masa yang akan datang. Karenanya jalan terbaik adalah membiarkan keaneka-ragaman sangat tinggi dalam pendidikan Islam dan membiarkan perkembangan yang akan menentukan. Sebuah hal yang sulit dilakukan, namun gampang dirumuskan. Nyatanya memang benar demikian, bukan?


2 comments:

Posting Komentar