JEJAK KELALAWAR HITAM, PEMBANTAI MUSLIM POSO
Ratusan Muslim Poso dibantai, pelakunya adalah kelompok orang terlatih bernama Kelalawar Hitam. Investigasi Sahid di lapangan menunjukkan selain dipicu persoalan politik lokal ada keterlibatan tokoh-tokoh di Jakarta.
Puluhan warga Pesantren Walisongo itu dibariskan menghadap Sungai Poso. Mereka dihimpun dalam beberapa kelompok yang saling terikat. Ada yang tiga orang, lima, enam atau delapan orang. Para pemuda digabungkan dengan pemuda dalam satu kelompok. Tangan mereka semua terikat ke belakang dengan kabel, ijuk, atau tali rafiah yang satu dengan lainnya saling ditautkan.
Sebuah aba-aba memerintahkan agar mereka membungkuk. Secepat kilat pedang yang dipegang para algojo haus darah itu memenggal tengkuk mereka. Bersamaan dengan itu, terdengar teriakan takbir. Ada yang kepalanya langsung terlepas, ada pula yang setengah terlepas. Ada yang anggota badannya terpotong, ada pula badannya terbelah. Darah segarpun muncrat. Seketika itu pula tubuh-tubuh yang tidak berdosa itu berjatuhan ke sungai.
Bersamaan dengan terceburnya orang-orang yang dibantai itu, air sungai Poso yang sebelumnya bening berubah warna menjadi merah darah. Sesaat tubuh orang-orang yang dibantai itu menggelepar meregang nyawa sambil mengikuti aliran sungai. Tidak semuanya meninggal seketika, masih ada yang bertahan hidup dan berusaha menyelamatkan diri. Namun regu tembak siap menghabisi nyawa korban sebelum mendapatkan ranting, dahan, batang pisang, atau apapun untuk menyelamatkan diri.
Itulah salah satu babak dalam tragedi pembantaian ummat Islam di Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Warga Pesantren Walisongo merupakan salah satu sasaran yang dibantai. Di komplek pesantren yang terletak di Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage, Poso ini tidak kurang 300-an orang yang tinggal. Mulai dari ustadz , santri, pembina, dan istri pengajar serta anak-anaknya.
Tidak satupun orang yang tersisa di komplek pesantren itu. Sebagian besar dibantai, sebagian lainnya lari ke hutan menyelamatkan diri. Bangunan yang ada dibakar dan diratakan dengan tanah. Pesantren Poso hanya tinggal puing-puing belaka.
Ilham (27) satu-satunya ustadz Pesantren Walisongo yang turut dibantai namun selamat setelah mengapung beberapa kilometer mengikuti aliran sungai Poso, menuturkan kepada Sahid, sebelum dibantai mereka mengalami penyiksaan terlebih dahulu. Mereka dikumpulkan di dalam masjid Al Hirah. Di sanalah warga pesantren Walisongo yang sudah menyerah itu dibantai. Ada yang ditebas lehernya, dipotong anggota badannya, sebelum akhirnya diangkut truk ke pinggir Sungai Poso.
Sungai Poso menjadi saksi bisu pembantaian ummat Islam, khususnya warga Pesantren Walisongo. Mayat-mayat mereka hanyut di Sungai Poso dan terbawa entah sampai ke mana. Belum ada angka yang pasti jumlah korban dalam pembantaian itu.
Seorang warga Kelurahan Kayamanya, Kecamatan Poso Kota, Syahrul Maliki, yang daerahnya dilewati aliran sungai Poso dan terletak sembilan kilometer dari ladang pembantaian, menuturkan kepada Sahid, Dari pagi hingga siang saja, saya menghitung ada 70-an mayat yang hanyut terbawa arus, berikutnya saya tidak menghitung lagi, katanya. Sementara Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU) melaporkan jumlah mayat yang ditemukan di Sungai Poso tidak kurang dari 165 orang.
Tidak hanya lak-laki dewasa, banyak pula yang perempuan, orang tua, dan anak-anak. Biasanya mayat wanita disatukan dengan anak-anak. Ada yang cukup diikat, ada pula yang dimasukkan karung, kata Syahrul. Sebagian besar mayat sudah rusak akibat siksaan.
Menurut Ilham, sebelum diserang, warga pesantren diteror oleh Pasukan Merah ini. Komplek Pesantren Walisongo sering dipanah. Hingga saat ini bekas panah tersebut masih terlihat jelas.
Pembantainya sudah sangat jelas. Mereka adalah orang-orang Kristen yang dikenal sebagai Pasukan Kelalawar Hitam. Dalam aksinya mereka mengenakan pakaian serba hitam. Salib di dada dan ikat kepala merah. Karena itu pula mereka sering disebut pula sebagai Pasukan Merah. Pembataian itu puncak dari hubungan ummat Islam dan Kristen yang kurang harmonis di kawasan itu.
Tercatat sekitar 200 - 400-an orang yang tewas terbantai.
Dalam laporannya, pihak gereja melalui 'Crisis Center GKST untuk Kerusuhan Poso' mengakui dikalangan mereka ada kelompok terlatih yang berpakaian ala ninja ini. Mereka menyebutnya sebagai 'Pejuang Pemulihan Keamanan Poso'.
Ada ciri-ciri yang sama ketika kelompok merah menyerang. Mereka selalu mengenakan pakaian ala ninja yang serba hitam, semua tertutup kecuali mata. Mereka juga mengenakan atribut salib di dada dan ikat kepala merah. Mayat-mayat juga ditemukan selalu dalam kondisi rusak akibat siksaan atau sengaja dicincang hingga tidak dikenal identitasnya. Dalam berbagai penyerangan pasukan merah selalu di atas angin. Karena itu sebagian besar korbannya adalah orang-orang muslim.
Selain di Pesantren Walisongo penyerangan dan pembantaian juga dilakukan di sejumlah tempat. Tercatat 16 desa yang penduduknya mayoritas Muslim kampungnya hancur dan terbakar. Dari arah selatan Poso, kerusakan hingga mencapai Tentena. Dari arah Timur hingga Malei. Dari arah barat hingga Tamborana.
Temuan Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) Ujungpandang yang melakukan investigasi di Poso menunjukkan adanya keterlibatan gereja dalam beberapa kerusuhan. Buktinya Sebelum mereka melakukan penyerangan, mereka menerima pemberkatan dari gereja, kata Agus Dwikarna, ketua Kompak Ujungpandang.
Misalnya pemberkatan yang dilakukan Pendeta Leniy di gereja Silanca (8/6/00) dan Pendeta Rinaldy Damanik di halaman Puskesmas depan Gereja Sinode Tentena. Selain kepada pasukan Kelelawar Hitam, pemberkatan juga diberikan kepada para perusuh. Pemberkatan ini memberikan semangat dan kebencian yang tinggi masyarakat Kristen kepada ummat Islam.
Yang menarik menurut Agus, meskipun mereka mengakui telah membumi hanguskan seluruh perkampungan ummat Islam dan membantai masyarakatnya, Pendeta R Damanik dan Advent Lateka mengadukan ummat Islam sebagai provokator.
Kini kabupaten yang dikenal sebagai penghasil kakau terbesar ini nyaris seperti kota mati karena ditinggal penduduknya mengungsi, bangunan yang ditinggalkan hanya tersisa puing-puing yang beserakan.
Penyerangan terhadap ummat Islam yang berlangsung sejak tanggal 23 Mei lalu, merupakan pertikaian ketiga antara Islam Kristen di Poso. Pertikaian pertama berlangsung pada Desember 1998. Enam belas bulan kemudian, 15 April 2000 pertikaian meledak lagi, yang dipicu perkelaian pemuda Kelurahan Kamayanya (muslim) dengan Lambogia (Kristen).
Dalam penyerangan kali ini kelompok merah yang bergabung dalam pasukan Kelelawar Hitam dipimpin oleh Cornelis Tibo asal Flores menyerang kampung Muslim Kayamanya. Mereka memukul-mukul tiang listrik hingga memancing kemarahan ummat Islam. Selanjutnya mereka mengaiaya ummat Islam di situ dan membunuh Serma Komarudin.
Ummat Islam yang marah mengejar Pasukan Kelelawar Hitam yang lari ke Gereja Katolik Maengkolama. Karena bersembunyi di gereja itu ummat Islam yang marah membakar gereja yang dijadikan tempat persembunyian itu.
Salah satu yang dianggap menjadi penyebab pertikaian adalah konflik politik lokal. Perebutan jabatan Bupati Poso pada Desember 1998 merupakan salah satunya. Herman Parino, tokoh Kristen, gagal merebut jabatan. Namun Herman Parino dan para pendukungnya menuduh Arif Patangga, bupati yang hendak digantikannya, muslim, merekayasa gagalnya Parino.
Karena jengkel, Parino menggalang massa untuk menyerang rumah Patangga. Namun rencana itu sudah tercium sebelumnya, para pendukung Patangga tidak diam dan bersiap menyambut. Bentrokan tidak terelakkan lagi. Dua hari kemudian giliran pendukung Patangga menyerang rumah Parino di desa Tentena. Dalam kerusahan itu polisi langsung menangkap tokoh dari kedua belah pilah, Herman Parino dan Agfar Patangga, adik kandung Arif Patangga yang dianggap memprovokasi massa.
Nampaknya penangkapan Herman Parino yang merupakan tokoh Kristen yang dihormati membuat pendukungnya kecewa. Apalagi Herman lantas dijatuhi hukuman, meskipun Agfar juga dijatuhi hukuman oleh pengadilan negeri Poso. Kasus inilah yang menjadi api dalam sekam. Maka ketika terjadi perkelaian pemuda Islam dan Kristen yang mabuk pada pertengahan April 2000 lalu, kerusuhan pun tidak dapat terhindarkan.
Dipicu kerusuhan pada bulan April, tanggal 23 Mei 2000 pasukan merah melakukan penyerangan ke beberapa perkampungan muslim. Pertikaian tidak hanya sebatas para pendukung Herman Parino dan Arif Patangga. Perkampungan Muslim yang tidak ada kaitannya dengan kerusuhan sebelumnya ikut dihancurkan, warganya dibantai, perempuannya diperkosa.
Selain konflik lokal, sumber intelejen menyatakan bahwa kerusuhan di Poso juga terkait dengan tokoh-tokoh di Jakarta. Salah satu kekuatan yang bermain itu adalah kelompok Soeharto. Indikasinya jika proses hukum Soeharto meningkat, tingkat kerusuhan meningkat. Temuan di lapangan menunjukkan keterlibatan sekitar 70-an purnawirawan TNI dalam melatih pasukan merah. Karena itulah pasukan merah sangat mahir dalam menggunakan berbagai senjata api maupun tangan kosong.
Pihak intelejen menyebutkan, kelompok yang berkepentingan terhadap kerusuhan di Poso ini juga didukung sumber dana yang kuat. Kasus beredarnya milyaran uang palsu dan hilangnya dua kontainer kertas uang yang hingga kini belum ditemukan juga sangat terkait dengan berlangsungnya kerusuhan di Poso ini.
Informasi sumber intelejen tersebut juga dibenarkan oleh Wakapolda Sulawesi Tengah, Kolonel Zaenal Abidin Ishak, yang menyatakan keterlibatan 15 anggota Polres Poso dan enam anggota TNI AD dalam kerusuhan itu. Mereka kini sedang ditahan untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Agus Dwikarna tidak percaya bahwa kerusuhan di Poso hanya persoalan gagalnya Herman Parino menjadi bupati. Kalau hanya karena perebutan kursi bupati kenapa ummat Islam yang dibantai, tanya Agus. Ia yakin ada upaya melenyapkan ummat Islam dari bumi Poso.
Apapun penyebabnya, kerusuhan Poso menyebabkan trauma yang mendalam di kalangan orang-orang Muslim di Poso. Sejak kerusuhan itu ribuan ummat Islam menjadi pengungsi di negerinya sendiri.
Haryono, laporan Munanshar dan Pambudi (Poso)
Sumber: http://media.isnet.org/iptek/100/index.htm
0 comments:
Posting Komentar