Kamis, Juli 23, 2009

KEIKHLASAN Roh Segala Pekerjaan


KEIKKHLASAN
Ruh Segala Pekerjaan

Ikhlas, kata ini barangkali tidak asing lagi ditelinga kita. Bahkan, hampir setiap hari kita mendengar dan mengucapkannya. Tapi tidak sedikit dari kita yang belum tahu apa itu ikhlas sebenarnya. Secara bahasa ikhlas berasal dari bahasa arab : akhlasho-yukhlishu-ikhlashon yang berarti menjernihkan atau memunirkan. Kata dasar akhlasho adalah kholasho yang berarti murni, jernih, dan selamat dari kotoran. Jadi secara bahasa. Segala sesuatu yang murni, jernih dan selamat dari hal-hal lain yang dapat mengotorinya bisa disebut dengan ikhlas.

Hal ini sebagaimana firman Alloh yang artinya :

“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih (murni) antara tai dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” (QS. An-Nahl [16]: 66).

Kata kholishon Pada ayat diatas menunjukkan bahwa susu yang keluar dari perutnya itu sangat jernih dan bersih, tak ada kotoran sedikitpun, walau tempatnya berada diantara tahi dan darah.

Juga berdasarkan firman Alloh yang artinya:

“…….Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin…..” (QS. Al-Ahzab [33]: 50).

Kata kholishotan laka Pada ayat diatas berarti bahwa wanita mukmin itu menghadiahkan dirinya hanya kepa Nabi saw. Saja nggak ada orang lain yang ikut campur.

Dalam firman Alloh yang lain juga disebutkan yang artinya :

“Maka tatkala mereka berputus asa dari (putusan) Yusuf, mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik…(QS. Yusuf [12]: 80).

Kata kholishuu pada ayat diatas menunjukkan bahwa saudara-saudara nabi Yusuf as menyendiri untuk saling berbicara diantara mereka tanpa ada orang lain yang menyertai pembicaraan tersebut.

Adapun ikhlas menurut istilah, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam mendifinisikan kata ini. Dzun Nun al-Mashri misalnya, mengatakan bahwa ikhlas adalah “Menjaga diri agar tidak dirusak oleh musuh (setan).” Sementara Abu Hudzaifah Al-Mar’asyi mengatakan, ikhlas adalah “Menyamakan perbuatan lahir dan perbuatan batin.”

Abu usman al-Maghribi mengartikan ikhlas dengan : “Melupakan pandangan makhluk dan memusatkan perhatian hanya kepada karunia Alloh.” Hal ini senada dengan sabda Rosululloh saw tentang ihsan:

“Kamu beribadah kepada Alloh seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)

dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ikhlas adalah, mengharapka keridhoan Alloh swt dalam mengerjakan amal dan membersihkan dari setiap tipu daya dunia.

Orang yang ikhlas tidak mencampur adukkan amalnya dengan keinginan-keinginan sesaat untuk memenuhi hawa nafsunya, menginginkan materi, kedudukan, harta, popularitas, ingin terpandang dihadapan manusia, ingin dipuji, lari dari celaan, mengikuti bisikan hawa nafsu, dan masih banyak lagi penyakit hati lainnya yang merupakan aib bila diketahui orang lain.

Orang yang ikhlas adalah orang yang selalu menyerahkan sholatnya, ibadahnya, hidup dan matinya hanya kepada Alloh swt semata.

Sesuai dengan firman Alloh yang artinya :

“Katakanlah: sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Alloh, Tuhan semesta Alam.” (QS. Al-An’am [6]: 162)

TINGKAT KEIKHLASAN

Para ulama’ membagi keikhlasan menjadi dua tingkatan, yaitu tingkatan khowash (orang khusus) dan awam (orang umum). Pembagian keikhlasan ini didasarkan kepada firman Alloh yang artinya:

“ Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis diantara mereka.” (QS. Al-Hijr [15]: 40).

Para ulama’ berbeda pendapat dalam membaca kata mukhlashiin pada ayat diatas. Sebagian membaca mukhlashiin dan sebagian lagi membaca mukhlishiin. Berdasarkan perbedaan pembacaan ini, maka mereka membagi keikhlasan kedalam dua tingkatan:

Pertama, mukhlas. Mereka adalah orang-orang yang telah dibersihkan dan disucikan hatinya oleh Alloh swt, sehingga mereka selalu mentaati petunjuk dan perintah-Nya. Yang dapat mencapai tingkatan mukhlash adalah para nabi, syuhada’ dan orang-orang sholeh.

Kedua, Mukhlish. Mereka adalah orang-orang yang berusaha mensucikan niat dan ibadahnya hanya kepada dan untuk Alloh swt semata. Orang yang sampai kepada tingkatan ini adalah orang-orang awam.

TANDA-TANDA KEIKHLASAN

Untuk mengetahui apakah kita sudah termasuk orang ihlas atau belum memanglah tidak mudah. Sebab ihlas adalah sesuatu yang berkaitan dengan hati hanya dapat diketahui oleh si pelaku dan Alloh saja. Kendati demikian, para ulama’ telah mengemukakan beberapa tanda sebagai barometer untuk mengetahui keikhlasan seseorang.

Pertama, baik niatnya. Niat adalah barometer pertama. Jika niat kita benar, maka amal kita juga benar. Jika kita rusak, maka amal kita juga rusak sia-sia. Niat yang benar adalah niat yang diorientasikan hanya untuk kepada Alloh semata. Niat adalah kunci diterima tidaknya sebuah amal. Karena itu, perubahan manusia akan diukur dari niatnya.

“Bahwasannya semua manusia akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam Hadist lain juga disebutkan :

“Sesungguhnya amal perbuatan itu bergantung kepada niat, dan bahwasannya bagi tiap-tiap orang apa yang diniatkan.” (HR. Bukhori Muslim).

Niat yang benar akan mengubah amal menjadi ibadah, ucapan yang baik menjadi sedekah, tersenyum dengan baik menjadi sedekah, membuang duri dari jalan menjadi sedekah, bersalaman dengan guru menjadi ibadah. Sedangkan niat yang jelek dapat mengubah ibadah menjadi perbuatan yang batil dan tidak ada nilainya. Begitu banayak orang yang mengerjakan sholat malam, tapi ternyata sholatnya tak lebih dari begadang; banyak orang yang berpuasa, tapi hanya memperoleh haus dan lapar; dan banyak orang-orang yang mencari ilmu tapi dia menjadi orang pertama masuk neraka sebab tidak mau mengamalkan ilmunya.

Kedua, beramal secara diam-diam, bahkan bila perlu tangan kirinya tidak tau apa yang diinfaqkan tangan kanannya. Mu’ad bin Jabal berkata:

“Aku mendengar Rosululloh saw. Bersabda: “Sesungguhnya riya’ termasuk perbuatan syirik. Barang siapa yang memusuhi wali Alloh, berarti ia menantang perang dengan Alloh. Sesungguhnya alloh mencintai orang-orang yang baik, bertakwa dan bersembunyi. Yaitu orang-orang yang tidak ada, tidak dicari. Dan jika sedang hadir, tidak dipanggil dan tidak dikenal, hati mereka adalah lentera penerang yang mengeluarkan (cahaya) di malam yang gelap gulita.” (HR. Ibnu Majah)

Ketiga, jika memberi sesuatu, ia tidak menghina dan mencaci maki orang yang diberinya. Mencaci maki dan mengungkit-ungkit pemberian adalah perbuatan yang dapat menghapus pahala. Oleh sebab itu Alloh memberi peringatan kepada umat manusia agar tidak mencaci maki atau menyakiti orang yang diberi sedekah. Ini sesuai dengan firman Alloh dalam Al-Qur’an yang artinya:

‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan alloh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqoroh [2]: 264).

Keempat, takut terkenal. Orang yang ikhlas khawatir jika dirinya menjadi terkenal, apalagi bila ia memiliki banyak kelebihan, baginya, ketenaran dan popularitas adalah momok yang harus dihindari dan dijauhi. Hal ini berkebalikan dengan kondisi yang ada sekarang, banyak orang yang ingin terkenal dan dikenal demi meraup popularitas dan nama baik, bahkan ada yang rela menjual harga diri. Sungguh hal ini tidak mencerminkan seorang yang ikhlas.

Kelima, tidak mementingkan jabatan. Orang yang ikhlas biasanya tidak terlalu mementingkan jabatan, baik sebagai atasan atau bawahan. Yang terpenting baginya adalah profesionalisme dalam melakukan pekerjaan dan mendapatkan kesuksesan hakiki. Dalam konteks ini, Kholid bin Walid adalah sosok teladan yang tepat. Dia dikenal dengan julukan Saifulloh (pedang Alloh). Semangat dan kerjanya tidak berkurang saat diturunkan menjadi prajurit biasa. Bahkan, dia tetap berjuang dibawah komando Abu Ubaidah bin Al-jarroh, panglima yang menggantikannya.

Dalam dirinya telah tertanam ajaran dan sabda Rosululloh saw :

“Berbahagialah seorang hamba yang telah menjadikan kudanya untuk berperang di jalan Alloh. Rambut dan kakinya penuh debu. Jika ia ditugaskan untuk berjaga, ia siap berjaga. Jika ia ditugaskan dibarisan belakang, ia pun tetap dibarisan belakang.” (Al Hadist).

Keenam, mencintai dan membenci saudara karena Alloh. Diantara tanda-tanda keihlasan adalah mencintai seseorang hanya karena Alloh dan tidak membenci seseorang, kecuali karena orang tersebut musuh Alloh dan Rosul-Nya.

Inilah beberapa tanda keihlasan yang dapat menjadi barometer untuk mengukur diri kita, ikhlas adalah roh segala pekerjaan. Segala sesuatu yang dilakukan dengan ikhlas akan menjadi benteng kokoh yang melindungi keutuhan hidup kita secara berkesinambungan. Dengan keikhlasan semua perbuatan akan terasa indah, nyaman, ringan, aman, damai dan tentram. Dengan keikhlasan, kita akan selalu bersemangat, bersungguh-sungguh dan tidak merasa jemu atau bosan dalam menjalankan aktifitas.

0 comments:

Posting Komentar